[5:33 PM, 6/9/2021]
Sri Bintang Pamungkas: UJI MATERI HAK TANGGUNGAN: Melawan Perbankan Predator...
Sri-Bintang Pamungkas
Siang menjelang sore hari itu aku kaget mendengar suara dari seberang tilpun yang mengaku sebagai Sofyan Djalil, Menteri ATR & BPN... "Long time no see..." Itu yang aku dengar... Sekejap kekagetanku hilang mengingat beberapa hari sebelumnya aku sengaja datang ke kantor Kementerian ATR & BPN sekedar mengantar surat untuk Pak Menteri. Surat permohonan Blokir atas Akta Rumah karena sedang bermasalah di Pengadilan melawan BCA.
Kami berbincang hanya dalam hitungan detik. Tapi detik-detik terakhir yang disampaikan Pak Menteri itu yang membuat sinyal-sinyal Antena di ujung-ujung rambut kepalaku mulai berdetak-detak tegang. "... Itu terkait UU Hak Tanggungan dengan Kekuatan Eksekutorial setara dengan Kekuasaan Mahkamah Agung..."
Busyet, kataku dalam hati: "Mana ada yang semacam itu... Bukankah Mahkamah Agung adalah Pemegang Kekuasaan Yudisial Negara Tertinggi?! " Tapi semuanya bisa terjadi di Negara Tercinta Indonesia... Selang beberapa menit kemudian baru aku kirim SMS balasan kepada Sang Menteri... "Bapak, saya akan Gugat Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi...", sekalipun aku tidak tahu, apakah SMS-ku dibaca...
Apa pula itu Undang-Undang Hak Tanggungan?! Jari-jemariku segera mencari di Google... Dapat! UU Nomor 4 Tahun 1996... Sialan! Apa yang disampaikan Pak Menteri itu betul!
Ada 5 (lima) Pasal dan Ayat yang aku nilai bertentangan dengan UUD 1945. Dan Kasusku dengan BCA bisa menjadikanku punya Alasan Hukum untuk melakukan Uji Materi.
Segera saja aku menghadapi Komputer Tuaku untuk menyampaikan Permohonan Uji Materi UU Hak Tanggungan terhadap UUD 1945. Pengalamanku mengajukan Gugatan Uji Materi pada masa lalu membuat aku yakin, bahwa Permohonan itu bisa kuajukan. Pada 2006 di jaman Jimly Assidiqqie aku mengajukan Uji Materi atas Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP berdasarkan Kasus Pandapotan Lubis yang sedang ditahan, dan Kasusku sendiri pada 1995. Aku pun membawa beberapa Saksi Korban lainnya, termasuk Yenny Rosa Damayanti dan lain-lain. Kami semua adalah korban dakwaan Menghina Presiden RI... Jimly memenangkan kami pada Desember 2006
Pandapotan keluar dari tahanan dan menolak melanjutkan sidang pengadilan. Aku sendiri masih menunggu setahun kemudian sampai Permohonan Peninjauan Kembali yang aku ajukan pada 2000 kepada Mahkamah Agung atas Kasus Jerman diputus dengan menyatakan "tak terbukti secara meyakinkan bersalah menghina Presiden RI".
Uji Materi ke dua adalah pada 2016 tentang UU Perbendaharaan Negara, di mana dengan alasan Daluwarsa, Pensiunku tiap bulan tidak dibayarkan selama 5 (lima) tahun. Aku gugat dan aku menang... Sri Mulyani membayar aku sekitar 250 juta Rupiah.
Jadi, kembali ke UU Hak Tanggungan. Ada Pasal2 yang menggangguku. Pasal-pasal itu aku yakin bertentangan dengan UUD 1945. Terus terang aku terpaksa memakai beberapa Pasal UUD 1945 Palsu, karena keberadaan MK ada di situ. Sekalipun pada UUD49 dan UUD50 ada yang disebut dengan Majelis Pertimbangan Konstitusi, sebuah majelis ad hoc yang ada di dalam Mahkamah Agung yang tugasnya mirip dengan Mahkamah Konstitusi yang sekarang.
Ada lima Pasal dan Ayat yaitu Pasal 6, Pasal 14 Ayat 3, Pasal 20 Ayat 1 dan Ayat 2, dan Pasal 21 yang melanggar UUD 1945... Minimal ada 3 (tiga) hal yang serius yang harus disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dan masyarakat tentang adanya pertentangan Pasal-pasal tersebut terhadap UUD 1945.
Pertama adalah bahwa Kreditor diberi hak oleh Negara dengan Kekuasaan Sendiri melakukan Eksekusi Lelang Umum. Sedang pihak Debitor samasekali tidak diberi hak, sekalipun untuk membela diri. Tentulah ini tindakan Diskriminasi dalam Hukum.
Ke Dua, Hak Eksekutorial tersebut sama kuatnya seperti Putusan Pengadilan yang telah punya Kekuatan Hukum Tetap. Tidak saja ini bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, dengan UU Kehakiman dan UU Mahkamah Agungnya, tetapi juga terhadap UUD 1945.
Yang ke Tiga, Kekuasan Eksekutorial lewat Lelang Umum ini tetap berlaku bagi para Debitor sekalipun sudah tidak mampu alias sekarat...
Padahal UUD 1945 itu adalah UUD yang Welas Asih terhadap Rakyat Kecil. Dengan Pancasila serta Azas Kekeluargaannya bertujuan membebaskan Rakyat dari segala bentuk Penjajahan, melindungi Rakyat Kecil, mengentaskan Kemiskinan, menegakkan Keadilan dan Kebenaran, mewujudkan Kemakmuran dan Kesejahteraan dan seterusnya dan seterusnya, agar tercapai Cita-cita Kemerdekaan menuju Masyarakat Yang Adil dan Makmur... Sejajar dan Terhormat di antara Bangsa-bangsa di Dunia...
Dan bahwa Lembaga Perbankan itu didirikan dengan Misi Mulia, yaitu untuk memberikan Pinjaman kepada masyarakat dengan Kucuran Uang mana Perekonomian bisa Digerakkan, Bangkit dan Bergairah dalam Derapnya Pembangunan.
Tentu ada saja ketikanya saat Untung Tak Bisa Diraih, dan Malang Tak Bisa Ditolak... Bakul Salak saja bisa menerima dengan Ikhlas, Buah Salaknya busuk 10-20%... Tapi dia bisa meraih untung dari 80% Salaknya yang tak busuk. Demikin pula Bank tidak perlu Rakus bak Predator layaknya, dengan berlaku Kejam terhadap Rakyat dan Usaha-usaha Kecil yang Gagal... ribuan dari mereka. Lembaga Bank itu bukan LINTAH DARAT, melainkan Agen Pembangunan!!
Jakarta, 9 Juni 2021
@SBP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar