Kamis, 10 Juni 2021

Sri Bintang Pamungkas: UJI MATERI HAK TANGGUNGAN: Melawan Perbankan Predator...


[5:33 PM, 6/9/2021] 

Sri Bintang Pamungkas: UJI MATERI HAK TANGGUNGAN: Melawan Perbankan Predator...


Sri-Bintang Pamungkas

Siang menjelang sore hari itu aku kaget mendengar suara dari seberang tilpun yang mengaku sebagai Sofyan Djalil, Menteri ATR & BPN... "Long time no see..." Itu yang aku dengar... Sekejap kekagetanku hilang mengingat beberapa hari sebelumnya aku sengaja datang ke kantor Kementerian ATR & BPN sekedar mengantar surat untuk Pak Menteri. Surat permohonan Blokir atas Akta Rumah karena sedang bermasalah di Pengadilan melawan BCA.

Kami berbincang hanya dalam hitungan detik. Tapi detik-detik terakhir yang disampaikan Pak Menteri itu yang membuat sinyal-sinyal Antena di ujung-ujung rambut kepalaku mulai berdetak-detak tegang. "... Itu terkait UU Hak Tanggungan dengan Kekuatan Eksekutorial setara dengan Kekuasaan Mahkamah Agung..."

Busyet, kataku dalam hati: "Mana ada yang semacam itu... Bukankah Mahkamah Agung adalah Pemegang Kekuasaan Yudisial Negara Tertinggi?! " Tapi semuanya bisa terjadi di Negara Tercinta Indonesia... Selang beberapa menit kemudian baru aku kirim SMS balasan kepada Sang Menteri... "Bapak, saya akan Gugat Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi...", sekalipun aku tidak tahu, apakah SMS-ku dibaca...

Apa pula itu Undang-Undang Hak Tanggungan?! Jari-jemariku segera mencari di Google... Dapat! UU Nomor 4 Tahun 1996... Sialan! Apa yang disampaikan Pak Menteri itu betul!

Ada 5 (lima) Pasal dan Ayat yang aku nilai bertentangan dengan UUD 1945. Dan Kasusku dengan BCA bisa menjadikanku punya Alasan Hukum untuk melakukan Uji Materi.

Segera saja aku menghadapi Komputer Tuaku untuk menyampaikan Permohonan Uji Materi UU Hak Tanggungan terhadap UUD 1945. Pengalamanku mengajukan Gugatan Uji Materi pada masa lalu membuat aku yakin, bahwa Permohonan itu bisa kuajukan. Pada 2006 di jaman Jimly Assidiqqie aku mengajukan Uji Materi atas Pasal 134, 136bis dan 137 KUHP berdasarkan Kasus Pandapotan Lubis yang sedang ditahan, dan Kasusku sendiri pada 1995. Aku pun membawa beberapa Saksi Korban lainnya, termasuk Yenny Rosa Damayanti dan lain-lain. Kami semua adalah korban dakwaan Menghina Presiden RI... Jimly memenangkan kami pada Desember 2006

Pandapotan keluar dari tahanan dan menolak melanjutkan sidang pengadilan. Aku sendiri masih menunggu setahun kemudian sampai Permohonan Peninjauan Kembali yang aku ajukan pada 2000 kepada Mahkamah Agung atas Kasus Jerman diputus dengan menyatakan "tak terbukti secara meyakinkan bersalah menghina Presiden RI".

Uji Materi ke dua adalah pada 2016 tentang UU Perbendaharaan Negara, di mana dengan alasan Daluwarsa, Pensiunku tiap bulan tidak dibayarkan selama 5 (lima) tahun. Aku gugat dan aku menang... Sri Mulyani membayar aku sekitar 250 juta Rupiah.

Jadi, kembali ke UU Hak Tanggungan. Ada Pasal2 yang menggangguku. Pasal-pasal itu aku yakin bertentangan dengan UUD 1945. Terus terang aku terpaksa memakai beberapa Pasal UUD 1945 Palsu, karena keberadaan MK ada di situ. Sekalipun pada UUD49 dan UUD50 ada yang disebut dengan Majelis Pertimbangan Konstitusi, sebuah majelis ad hoc yang ada di dalam Mahkamah Agung yang tugasnya mirip dengan Mahkamah Konstitusi yang sekarang.

Ada lima Pasal dan Ayat yaitu Pasal 6, Pasal 14 Ayat 3, Pasal 20 Ayat 1 dan Ayat 2, dan Pasal 21 yang melanggar UUD 1945... Minimal ada 3 (tiga) hal yang serius yang harus disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi dan masyarakat tentang adanya pertentangan Pasal-pasal tersebut terhadap UUD 1945.

Pertama adalah bahwa Kreditor diberi hak oleh Negara dengan Kekuasaan Sendiri melakukan Eksekusi Lelang Umum. Sedang pihak Debitor samasekali tidak diberi hak, sekalipun untuk membela diri. Tentulah ini tindakan Diskriminasi dalam Hukum.

Ke Dua, Hak Eksekutorial tersebut sama kuatnya seperti Putusan Pengadilan yang telah punya Kekuatan Hukum Tetap. Tidak saja ini bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum, dengan UU Kehakiman dan UU Mahkamah Agungnya, tetapi juga terhadap UUD 1945.

Yang ke Tiga, Kekuasan Eksekutorial lewat Lelang Umum ini tetap berlaku bagi para Debitor sekalipun sudah tidak mampu alias sekarat...

Padahal UUD 1945 itu adalah UUD yang Welas Asih terhadap Rakyat Kecil. Dengan Pancasila serta Azas Kekeluargaannya bertujuan membebaskan Rakyat dari segala bentuk Penjajahan, melindungi Rakyat Kecil, mengentaskan Kemiskinan, menegakkan Keadilan dan Kebenaran, mewujudkan Kemakmuran dan Kesejahteraan dan seterusnya dan seterusnya, agar tercapai Cita-cita Kemerdekaan menuju Masyarakat Yang Adil dan Makmur... Sejajar dan Terhormat di antara Bangsa-bangsa di Dunia...

Dan bahwa Lembaga Perbankan itu didirikan dengan Misi Mulia, yaitu untuk memberikan Pinjaman kepada masyarakat dengan Kucuran Uang mana Perekonomian bisa Digerakkan, Bangkit dan Bergairah dalam Derapnya Pembangunan.

Tentu ada saja ketikanya saat Untung Tak Bisa Diraih, dan Malang Tak Bisa Ditolak... Bakul Salak saja bisa menerima dengan Ikhlas, Buah Salaknya busuk 10-20%... Tapi dia bisa meraih untung dari 80% Salaknya yang tak busuk. Demikin pula Bank tidak perlu Rakus bak Predator layaknya, dengan berlaku Kejam terhadap Rakyat dan Usaha-usaha Kecil yang Gagal... ribuan dari mereka. Lembaga Bank itu bukan LINTAH DARAT, melainkan Agen Pembangunan!!

Jakarta, 9 Juni 2021
@SBP 

Hatta Taliwang: PERBANDINGAN SISTEM PILPRES LANGSUNG DENGAN SISTEM PEMILIHAN LEWAT PERWAKILAN MUSYAWARAH ALA UUD45 ASLI

 


[11:13 PM, 6/9/2021] Bagus Taruno:

PERBANDINGAN SISTEM PILPRES LANGSUNG DENGAN SISTEM PEMILIHAN LEWAT PERWAKILAN  MUSYAWARAH ALA UUD45 ASLI.

Oleh : Drs. M.Hatta Taliwang, M.I.Kom. Mantan anggota DPR RI/MPR RI.

1. Diasumsikan bahwa  Pilpres lewat Perwakilan dan Musyawarah kurang demokratis. Pilpres langsung lebih demokratis.
Padahal rakyat sdh memilih wakilnya lewat Pemilu yaitu anggota DPR RI. Buat apa ada wakil dipilih  klo tidak dipercaya utk mewakili rakyat utk bermusyawarah memilih Presiden ? Pilpres langsung itu Pemborosan waktu dan tenaga serta biaya.

2.Kontrol rakyat lebih mudah bila Pilpres Perwakilan/ Musyawarah dilakukan di Senayan. Sementara titik penyelewangan suara bila Pilpres langsung sangat banyak tempatnya dan rakyat tak bisa fokus mengontrol.

3.Ada yg bilang klo lewat MPR lebih murah biaya nyogoknya. Hemat saya tidak demikian mudah dg alasan.

3.1. Panglima TNI, Kapolri, Tokoh Muhammadiyah, Sultan, dll sbagai UTUSAN GOLONGAN/ UTUSAN DAERAH  DI MPR RI dibantu kader2 partai yg baik yg masih punya integritas insha Allah tak akan tunduk pd uang.

3.2. Seluruh mata bangsa fokus tertuju ke Senayan sehingga  semua tingkah polah anggota MPR dibidik oleh rakyat. Kita desak saat
ada yg kasak kusuk minta KPK Pantau semua hp anggota MPR.
Bila perlu semua sudut Gedung MPR dipasang CCTV yg bisa diakses rakyat.

3.3 Pasti ada Tokoh bangsa yg dicalonkan. Saat itulah semua pendukungnya mengepung MPR utk menjaga Pilpres berlangsung fair.

3.4. Ormas,LSM  dan Mahasiswa KEPUNG MPR  untuk mengawal Pilpres. Mereka berkepentingan utk punya pemimpin yg berkualitas.

3.5 Melihat situasi demikian Bandar atau Cukong yg kasak kusuk pun akan mikir seribu kali. Karena pasti bocor gerakannya karena ada tokoh2 moral fraksi utusan golongan/ utusan daerah yg akan nyanyi bila ada gerakan penyuapan.

3.6 Kita hrs berprasangka baik bahwa tidak seluruh anggota MPR dan rakyat akan diam melihat kecurangan di depan mereka ?  Tidak serusak parah itulah  bangsa ini sehingga semua bisa  diatur atur oleh bandar atau cukong. Kita hrs membangun rasa  percaya diri menegakkan kebenaran dan keadilan di Pilpres yg hanya sekali dlm 5 tahun itu.

4.Kalau pakai sistem Pilpres Perwakilan Musyawarah di MPR tidak akan lahir Pemimpin Negara kelas pedagang ember plastik. Panglima TNI/ Kapolri/ Ketum Muhammadiyah sbg Utusan GOLONGAN tak akan mau terima calon Pemimpin yg rendah mutunya. Malu mereka. Masa' Pemimpinnya dibawah kualiatas mereka.

5.Pilpres langsung karena cuma dicalonkan partai, sementara partai mata duitan, ya mau aja calonkan yg tak jelas kualitasnya, karena fulus dari sponsor( para cukong) gde, minimal 1 triliun kata Bambang Soesatyo utk kuasai sebuah Partai.

6.Dlm sistem Pilpres Langsung meskipun anda punya bibit bagus utk capres misalnya Anies Baswedan. Kalau  para oligarki  gak sreg  bisa saja di kerjain di proses pencalonan atau diberbagai titik proses pemilihan. Bisa dijegal di saat Pilpres berlangsung. Bisa di jegal disaat penghitungan di KPU.

7.Dengan sistem one man one vote dlm Pilpres langsung, menyamakan suara 1 orang gila dengan suara 1 Guru Besar, waras gak ?

8. Biaya Pilpres langsung sampai puluhan trilyun utk KPU dan dari kantong capres atau kantong cukong menghasilkan orang yg belum tentu sesuai harapan rakyat.
Belum tentu juga sesuai harapan cukong.

9. Biaya sosial, psikologis juga mahal. Suasana kampanye merusak hubungan sosial psikologis masyarakat karena banyak hoaks hingga fitnah, hubungan antar warga kurang harmonis dan saling prasangka dll. Rakyat terbelah berkepanjangan merusak kerukunan nasional dan sosial
Menghancurkan Sila ketiga Pacasila.

10. Isu isu sensitif soal suku, ras,antar golongan, agama sampai tetek bengek soal cara beribadah diumbar sbg instrumen kampanye hingga mengancam persatuan.

11.Presiden Threshold (PT) lama dimana sdh banyak pemilih yg lalu(2014)yg telah meninggal, masih dihitung dan digunakan sementara pemilih pemula yg berusia 17 tahun pd 2018 tidak dianggap, maka  apapun argumennya tetap cacat hukum, cacat akal sehat dan cacat moral.

12.Memasukkan orang gila atau cacat mental berat sebagai pemilih adalah indikasi bahwa dengan cara apapun KPU berupaya menghimpun suara demi kepentingan tersembunyi, termasuk masalah data pemilih  misterius itu. Ini sesuatu yg sangat tidak logis.

13.Sistem pilpres langsung ini sangat mudah diintervensi dg berbagai instrumen yg potensial dikendalikan penguasa apalagi jika berkonspirasi dg pemilik modal ( membentuk oligarki) utk menggolkan oknum yg mereka inginkan. Instrumen seperti : lembaga survei, akademisi mata duitan, intelijen resmi atau partikelir, aparat keamanan, birokrat, parpol, aparat hukum, LSM, Ormas, media massa mainstream, KPU , buzzer dll dengan uang , janji jabatan, permainan pajak, permainan hukum dll bisa
dilibatkan dalam konspirasi.
Aparat keamanan, hukum dan birokrat yang mestinya netral tanpa sadar atau dg sadar sering terbawa arus oleh godaan godaan diatas.

14.Belum terhitung bagaimana teknologi IT yg canggih yg bisa dipermainkan ditambah produksi KTP misterius, formulir misterius dan lain lain sangat tidak kondusif untuk membangun rasa saling percaya dalam sistem pilpres langsung ini.

15. Dengan sikap KPU yg penuh keanehan ( misalnya mendadak mengubah cara debat) dan berbagai indikasi lainnya yang menunjukkan dugaan mengakomodir kepentingan salah satu peserta pilpres, maka bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa KPU bisa netral dan sungguh sungguh akan menghasilkan Pilpres yg bisa dipercaya? Situasi ini sungguh akan menimbulkan bencana politik dikemudian hari.

16. Argumennya bahwa Pilpres langsung menghasilkan demokrasi yg bagus bisa dipertanyakan.
Kalau kita percaya angka ini. Hasil Pilpres
Pilpres 2014.
Jokowi 37,30%.
Prabowo 32,88%
Golput dll 29,81%

Pilpres 2019
Jokowi 42,80%
Prabowo 34,32%
Golput dll 22,86%

Kan klo pakai rumus menang secara demokratis harusnya  50+1.

Nyatanya Jokowi menang 2 x masing2 37, 30% dan 42, 80%. Dua kali menang suaranya dibawa 50 % Pemilih.
Artinya mengacu ke rumus menang secara demokratis tidak tercapai sehingga kami menyebutnya ini hasil legal tapi tidak legitimatif
Apa bedanya dengan Pilpres sistem Perwakilan dan Musyawarah di MPR RI yg dianggap kurang demokratis namun hasilnya bisa terpilih Presiden yg lbh berkualitas karena ada faktor UTUSAN GOLONGAN yg bisa jadi "penyaring capres"?


17. Setelah Presiden terpilih berdasarkan pengalaman :
17.1 Tahun pertama sibuk konsolidasi kekuasaan. Partai partai yg dianggap bukan pendukung rezim, diobrak abrik atau dijinakkan dengan segala cara. Mulai terjadi persekongkolan atau bangun oligarki. Ujungnya kepentingan rakyat diselewengkan.
17.2. Tahun kedua, mulai raba raba program apa yg mau dikerjakan yg bisa membuat rakyat segera melihat hasil nyata. Program abstrak misalnya revolusi mental, nation and character building dll disingkirkan. Kejar tayang yg bisa rakyat kagum. Dipilih program praktis misal nya kartu sehat dan yg paling mudah itu infrastruktur,sekalipun dg seruduk gunakan pinjaman dg bunga besar atau gunakan dana yg tidak semestinya utk infrastruktur seperti dana haji, dana pensiun dll. Itu sekedar contoh bagaimana bekerjanya sebuah sistem tanpa tuntunan GBHN.
17.3. Tahun ketiga, mulai bangun pencitraan, banyak selfie dan berbagai acara yg sifatnya konsolidasi untuk terpilih  periode kedua.
17.4.Tahun keempat, mulai sibuk bertempur, karena lawan tanding sudah mulai muncul. Praktis setahun petahana sibuk kampanye tersembunyi atau terang terangan.
Beberapa program seperti raskin,bansos dll diolah menjadi modal politik petahana.

Dengan kata lain sistem pilpres langsung ini menghasilkan Presiden yg praktis hanya bekerja untuk bisa dipilih kembali utk periode berikutnya,tak mampu bekerja untuk program jangka jauh yg sifatnya membangun fondasi kuat agar negara bisa kokoh. Membangun dg gali lobang tutup lobang menjadikan banyak negara baru merdeka lebih maju meninggalkan Indonesia yg terseok seok. Membangun yg mudah dan tampak oleh rakyat seperti infrastruktur misalnya, dengan utang besar, hanya mewariskan beban yg berat utk pemerintah berikutnya. Inilah proses menuju kebangkrutan kalau sistem ini dilanjutkan.

18. Penilaian atas prestasi Presiden lima tahun pertama, tdk lagi di depan MPR RI, artinya diserahkan langsung ke rakyat pemilih. Sementara rakyat pemilih banyak yg awam dan seringkali terbawa arus tipuan timses dan lembaga survei dll sehingga intinya evaluasi itu tak ada. Sistem begini tidak atau kurang bertanggung jawab.

19. Sengketa pilpres dengan membawa bertruk truk bukti penyimpangan, belum tentu diperiksa cermat oleh hakim MK, apalagi kalau hakimnya diketahui aparat hukum lainnya punya "catatan gelap" dalam karirnya dan dijanjikan jabatan  tinggi atau setara setelah pensiun oleh salah satu capres yang menang atau dimenangkan.

20. Negara sebesar ini penduduknya, dan seluas ini, dg berbagai latar belakang suku, agama dll melakukan pilpres langsung merupakan experimen demokrasi luar biasa. Sistem ini mudah terjadi kecurangan dan hampir pasti hanya suku Jawa yang bisa jadi Presiden, karena jumlah pemilih yg besar di Jawa.

21. Betapapun tuduhan terhadap demokrasi ala UUD45 Asli dianggap tidak demokratis, namun faktanya hampir semua parpol, semua ormas dll melakukan pemilihan dg demokrasi perwakilan, musyawarah mufakat( voting hanya utk keperluan teknis setelah calon hasil musyawarah disepakati), dg dijiwai hikmah kebijaksanaan. Tak ada parpol atau ormas yg mengundang semua pemegang kartu anggota parpol/ ormasnya datang ke bilik suara untuk memilih Ketua Umumnya. Lho kultur yg hidup dalam masyarakat kita perwakilan, musyawarah mufakat, dlm hikmah kebijaksanaan kok ujug ujug pilpres nya sistem one man one vote dimana suara 1 orang gila sama dengan suara 1 guru besar. Akal sehat itu dimana ?
Sistem perwakilan, musyawarah mufakat itu sukses dilakukan Muhammadiyah misalnya. Pemimpin yg lahir berkelas : KU AR Fachruddin, Prof Amien Rais, Prof Syafi'i Maarif, Prof Din Syamsuddin, Prof Haedar Nashir. Muhammadiyah punya PT 180an, Sekolah dari TK hingga SLTA puluhan ribu, RS dan Klinik ribuan, Anak asuh ribuan dll.

Sistem perwakilan, musyawarah mufakat ini sukses diterapkan PKS. Tanpa banyak ribut, suksesi kepemimpinan berjalan lancar, output partai meningkat, beberapa Gubernur diraih.

Dulu dg sistem yg sama melahirkan politisi tangguh seperti Akbar Tanjung di Golkar. Dan banyak contoh lain.
Pada tingkatan negara lain tentu banyak contoh yg mirip Perwakilan dan Musyawarah Mufakat dimana prestasi negaranya maju. Pemilihan Presiden dan PM RRC misalnya tidak rakyat langsung yg pilih tapi lewat perwakilan meskipun tidak lewat musyawarah mufakat, namun yg terpilih pasti lewat sistem yg ketat sesuai tradisi politik dan sistem negara mereka.

22. Sistem pilpres langsung ini karena mahal maka praktis ke depannya hanya akan bisa diikuti orang orang kaya. Dan orang orang kaya atau yang dibacking orang kaya ke depan itu siapa ? Bukankah hanya kelompok tertentu yg sangat kaya?Silahkan pikirkan untuk jangka panjang ke depan ini siapa siapa yang akan bisa jadi capres. Salah satu yg sdh berani muncul adalah konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Dan saya kira akan segera bermunculan yang lain. Lalu orang orang hebat dari parpol lain, kecuali keluarga SBY yg kabarnya masih kaya, selebihnya mungkin akan lapuk pada saatnya.

23. Kalau mau jujur sistem pilpres langsung yg diduga masuk intervensi pemodal atau bandar, hanya dinikmati hasilnya oleh segelintir aktor yg terlibat dlm skenario. Para bandar sendiri mungkin merasa belum kembali modal hanya dengan 5 tahun. Inilah yg bisa menjelaskan mengapa petahana sering terpaksa ngotot ingin jabatan kedua kali bahkan sekarang belum apa apa sdh pengen ketiga kali. Dan ini sangat mempengaruhi tensi pilpres. Suhu tinggi dan rawan keributan.

Tulisan ini disajikan dengan maksud mari kita sama sama evaluasi sistem ketatanegaraan khususnya sistem pilpres langsung ini kita nilai dengan jujur dan bertanggung jawab demi keselamatan Indonesia, demi hari depan anak cucu kita.MHT 7/1/2019 Di update 9 Juni 2021.
Catatan
Yg ingin memberi saran / koment bisa hubungi HP/WA MHT 0818714823. 

Selasa, 08 Juni 2021

#UUD45asli Bagus Taruno: Semangatnya menyalahkan zaman orla dan orba, membenarkan orde dimana junjungannya yg jd aktor saat itu.



[9:40 PM, 6/8/2021] 

Bagus Taruno: Semangatnya menyalahkan zaman orla dan orba, membenarkan orde dimana junjungannya yg jd aktor saat itu. 

1. Tidak menceritakan 14 tahun masa UUD 1945 tdk berlaku efektif (1945-1959). Pemerintahan bersifat parlementer dg pimpinan PM. Politik tdk stabil, gonta ganti kabinet. Yg itu bukan krn UUD 1945. 

2. Boleh saja dikatakan dari 1945 hingga dekrit presiden 1959, UUD 1945 bersifat sementara. Dan dalam prakteknya pun UUD 1945 tdk berlaku efektif, bahkan ada UUD lain, yakni Konstitusi RIS dan UUDS'50. Namun dg dekrit 1959 itu, UUD 1945 menjadi bersifat tetap, dan tdk sementara lagi. Jadi yg masih membawa UUD 1945 dalam status sprt ucapan beliau dalam pidato pengantar Sidang PPKI 18 Agustus 1945, tdk relevan lagi. 

3. Persoalan dalam UUD 1945 bukan persoalan fundamental, tetapi lbh pada teknikal yg mendasarkan pada tafsir. Klausula dalam UUD 1945 itu bersifat fundamental dan ideologis. Cakupannya sebenar sdh serba meliputi jika para pakar mau sedikit berpikir. Persoalan teknis tp yg di acak² hal² fundamental dan ideologisnya. Harusnya koreksi pada aturan² teknisnya sprt penyimpangan dalam TAP MPR, UU dan peraturan² yg ada di bawahnya. 

4. UUD 1945 tidak hendak dijadikan bak kitab suci. Pertanyaan yg harusnya diajukan adalah pasal² apa yg salah atau dianggap salah? Ini yg harus diajukan terlebih dahulu sebelum mengajukan ide amandemen. Harus diperdebatkan secara terbuka. Menuduh UUD 1945 dibuat secara terburu-buru adalah tuduhan yg tdk berdasar jika hanya menyandarkan kata² BK yg mengatakan UUD kilat. BK mengatakan sprt itu karena situasinya serba cepat bak kilat sewaktu² bisa berubah sehingga BK mengajak semua anggota sidang agar tdk terjebak pd perdebatan hal² kecil krn pertama saat Sidang II BPUPKI sdh dibahas mendalam, dan kedua situasinya cukup genting sehingga jika mengulang perdebatan sprt pada Sidang BPUPKI justru akan banyak membuang waktu percuma. 

5. Justru proses amandemen 4x dari 1999-2002 justru sangat tdk mendalam, dan terburu². Banyak melanggar kesepakatan awal sblm proses amandemen berlangsung. Panitia adhoc tdk menguasai materi, dan banyak ngawurnya. Dan tidak mengerti ilmu Panca Sila dan proses lintasan sejarah bangsa. Untuk hal ini kita bs debat secara terbuka.


[9:57 PM, 6/8/2021] 

Adiaksa: Esensi nya bukan soal satu pasal, namun keterkaitan pasal2 lainnya yang saling mengikat, itulah jiwa, suasana kebatinan, lha td sdh sedikit dijawab oleh Mas Bagus Taruno...di gowo santai ae yo ๐Ÿ˜„☕๐Ÿ™๐Ÿผ


[10:07 PM, 6/8/2021] 

Ir Jusuf Mahdi, MM: UUD 1945 itu sudah legal hukum, legal formal dan logal konstitusional yang bersifat tetap tidak berubah. Bila ada hal-hal yang urgent, darurat dsb dilakukan penjelasan dari pasal terkait, dan dibahas dalam sidang MPR secara musyawarah dan mufakat.


[10:08 PM, 6/8/2021] 

Adiaksa: Mas Bagus Taruno, Mas Prihandoyo juga ada pak Alvin dengan Rumah PancaSila nya lebih komprehensif membacanya...๐Ÿ™๐Ÿผ๐Ÿ™๐Ÿผ๐Ÿ™๐Ÿผ


[10:12 PM, 6/8/2021] 

Anisa: Matap idenya bung. Ruhnya pastinya disitu.

Saya jg mau mendapat energi dari risalah tersebut๐Ÿ™

[10:15 PM, 6/8/2021] 

Alvin Yudistira: Sepakat Bu, ๐Ÿ™๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

[10:17 PM, 6/8/2021] 

Anisa: ๐Ÿ˜ƒkpn saya dpt terbitan ulangnya?

[10:18 PM, 6/8/2021] 

Alvin Yudistira: Siap Pak Bagus, ๐Ÿ™๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

[10:19 PM, 6/8/2021] 

Alvin Yudistira: Kira2 kok nanti setelah  merdeka Bu, kalau ngebet, monggo pesan ke Pak Adiaksa Bu, kalau saya sudah percayakan yg di bidangnya dan keahliannya, saya gerak di bidang lain, bagian pendobraknya saja he2

[10:25 PM, 6/8/2021] 

Anisa: Itu adalah peninggalan yg harus saya pahami juga bung...yg pastinya sangat brmanfaat bg 7an saya

[10:35 PM, 6/8/2021] 

Alvin Yudistira: Sip Bu Anisa bagus sekali, dan wajib diwariskan generasi penerus


Senin, 07 Juni 2021

Hendrajit: Mochtar Kusumaatmadja, Sang Diplomat dan Ilmuwan Pejuang Dalam Perang Nirmiliter Melawan Kaum Penjajah




[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Mochtar Kusumaatmadja, Sang Diplomat dan Ilmuwan Pejuang Dalam Perang Nirmiliter Melawan Kaum Penjajah
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute dan Wartawan Senior
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Mendengar Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja wafat Senin kemarin, sebetulnya tak terlampau mengejutkan, karena saya termasuk yang  maklum betul dalam beberapa tahun terakhir, kondisi kesehatan beliau cukup parah. Begitupun, ada kekosongan yang saya rasakan berpulangya sosok satu ini.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Seperti juga menteri luar negeri pendahulunya, Adam Malik, Pak Mochtar yang menjadi menlu kedua RI di era Pak Harto, merupakan sosok transisi dari era politik luar negeri Sukarno yang frontal dan gegap gempita menuju era politik luar negeri yang lebih kalem dan tenang. Namun di tangan Bung Adam Malik dan Pak Mochtar, politik luar negeri RI bebas dan aktif di era Bung Karno dan Pak Harto, sejatinya tetap pro aktif dan agresif menghadapi kekuasan-kekuatan asing.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Yang lebih penting lagi,  dan ini belum sepenuhnya dipahami oleh para pakar hubungan internasional maupun politik luar negeri RI, sosok Mochtar Kusumaatmadja, secara harfiah memang betul-betul jembatan antara masa pemerintahan Sukarno dan Suharto.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Apa jembatan penghubung kedua pemeritahan tersebut? Tiada lain adalah Deklarasi Juanda. Nah, kalau sudah menyangkut yang namanya Deklarasi Djuanda, maka kita harus ingat, bahwa sosok penggagas dan dinamo starter dari Deklarasi Djuanda adalah Wakil Perdana Menteri III merangkap menteri veteran, Bung Chairul Saleh. Adapun Pak Mocthar merupakan sang juru mudi alias supirnya nggak sangat terampil  sekaligus tahu betul peta jalan.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Chairul Saleh seorang nasionalis tulen yang memandang Muhammad Yamin, Tan Malaka dan Sukarno sebagai mentor-mentor politik dan aktivitas pergerakan, pada 1957 dalam keadaan gusar dan resah, sehingga siapa saja di dekatnya pasti kena damprat habis-habisan. Pasalnya, Bung Chairul merasa jengkel karena Panitia Rancangan UU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang dibentuk PM Ali Sastroamidjojo pada 1956, ternyata belum menunjukkan hasil kerjanya sama sekali. Tapi buat marah-marah langsung ke Pak Ali Sastro jelas nggak mungkin, biar gimanapun Pak Ali ini jauh lebih senior dan punya jam terbang jauh lebih lama sebagai kaum pergerakan.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Padahal panitia tersebut dibentuk untuk mewujudkan suatu tujuan strategis yang sungguh serius adanya: menciptakan UU Laut Teritorial baru untuk menggantikan Territorial Zee en Maritiem Kringen Ordonantie yang diterapkan sejak masa kolonial.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Dan Pak Mochtar, selain masih keluarga dekat isteri Chairul Saleh, namun eksponen pemuda yang memainkan peran sentral dalam mendesak percepatan proklamasi kemderdekaan Indonesia pada Agustus 1945 itu, sangat paham betul bakat-bakat terpendam pakar hukum Universitas Padjajaran tersebut. Sehingga sewaktu pemerintahan Ali Sastro membentuk panitia itu, dengan tak ayal Chairul Saleh memerintahkan Mochtar didudukkan  sebagai salah satu  anggota panitia tersebut.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Maka bisa dibayangkan betapa apesnya Pak Mochtar saat pada 1957 berpapasan dengan Uda Chairul, kontan kena damprat.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Hey Mochtar, mana ini, hasil panitia belum ada? Lambat betul kerjanya kalian ini” semprot Chairul berapi-api, dikutip Mochtar dalam testimoni berjudul “Sekelumit Pengalaman Bersama Bung Chairul Saleh”, dimuat di "Chairul Saleh Tokoh Kontroversial".
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Rupanya kinerja pemerintahan Ali Sastro I maupun ke-II memang sepertinya tidak bisa diandalkan entah kenapa. Untungnya, sewaktu pemerintahan beralih ke kabinet yang dipimpin Insinyur Djuanda, panitia ini tetap dipertahankan.  Dan Mochtar, juga masih tetap didalamnya.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Bisa dibayangkan seorang Chairul Saleh yang tak kalah revolusioner dan nasionalistisnya dibanding Sukarno, bukan saja prihatin, bahkan meradang. Kebetulan Mochtar yang selain jauh lebih muda dan bertampang akademisi itu, jadi sansak kemarahan Chairul Saleh yang sama seperti Mochtar kelak, sama-sama beristirikan orang Minang.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Mungkin Chairul yang sejak pemuda pikirannya jahil dan suka bikin hal-hal yang di luar pakem, sengaja memancing obrolan dengan Mochtar yang secara tersirat menggugah rasa nasionalisme Mochtar yang terpaku pada pakem ilmu hukum dan keilmuan. Namun agenda tersembunyi obrolan itu sebenarnya, mau memerintahkan Mochtar ambil alih tanggungjawab kerja panitia itu ke tangan si pemuda berkacata mata tebal dan kumis tipis ini seorang. Maka mulailah pembicaraan yang bersejarah itu.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: "Mochtar, ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir saja di Laut Jawa. Ini Laut Jawa apa tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” kata Chairul bertanya.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Sudah diduga Uda Chairul, jawaban Mochtar pasti konvensional dan sok ilmiah meski pakar hukum laut. "Wah ya nggak bisa dong, bagaimana mungkin," jawab Mochtar.  Nah di sini Uda Chairul kayaknya pura-pura marah tapi sebenarnya sedang menanamkan watak nasionalisme dan sikap revolusioner pada diri Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Berkata Chairul Saleh:  “Pokoknya bikin supaya bisa. Jangan bilang tidak bisa !” Mohtar pun sebagai anak muda kontan merasa  diremehkan kepancing egonya dengan tak ayal menjawab: “Wah, ini bertentangan dengan hukum internasional.”
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Chairul pun yang semula mungkin cuma mau menggugah rasa nasionalisme dan sikap revolusioner, jadi keluar juga ego eksponen pejuang pemuda 12 tahun sebelum percakakapan ini berlangsung.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner. Kalau dulu waktu proklamasi kita mendengarkan orang-orang yang terlalu yuridis macam kau ini, pasti proklamasi juga tidak jadi. Kamu harus merubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa !”, tegas Chairul.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Saat menyimak kata-kata Chairul Saleh yang jauh lebih tua dari dirinya ini, pakar hukum laut kita ini yang usianya masih berumur 28 tahun itu, tersengat dan merasa mendapat pencerahan. Sehingga tanpa Mochtar sadari saat itu, ketika akhirnya alumni Fakultas Hukum UNPAD dan Universitas Chicago ini menyerah dan patuh pada perintah Chairul  Saleh, maka praktis wewenang Panitia Rancangan UU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang dibentuk PM Ali Sastroamidjojo pada 1956, secara teknis sudah dialihkan ke pundak satu orang, dialah Mochtar Kusumaatmadja.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Maka Mochtar kepalanya pening lagi. Karena begitu menyatakan iya dan sanggup, sebenarnya belum tahu harus bagaimana. "Baiklah Uda, tapi tolong ya mintakan izin cuti dua minggu kepada bos langsung saya," kata Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Pendek cerita, Permintaan itu dikabulkan Chairul dengan memerintahkan Usman, atasan Mochtar, agar mengeluarkan surat cuti. Urusan administrasi beres. Mulailah kerja intelektual yang luarbiasa dan bersejarah.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Seperti cerita Mochtar sendiri kepada saya dan beberapa  mahasiswa yang waktu 1980an  aktif di Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS):
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Jadi bulan Oktober itu saya mengambil verlop (cuti) 2 minggu beristirahat di Bandung untuk menyiapkan konsep, yang menjadikan semua perairan (laut) antar-pulau-pulau Indonesia menjadi perairan pedalaman. Demikian lahirnya Konsepsi Nusantara dalam hukum laut itu,” tutur Pak Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Singkat cerita, dasar memang tokoh satu ini otaknya bukan saja brilyan tapi obrolan dengan Uda Chairul ini juga tertantang untuk membuktikan kemampuan intuitifnya untuk menjadikan ilmu hukum untuk mengubah keadaan yang revolusioner, bukannya alat untuk memaklumi keadaan, akhirnya kerja Mochtar selesai sudah.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Nah di sini, cerita menarik dari Mochtar sangat berharga untuk memahami jiwa revolusioner dari apa yang kelak dinamakan Deklarasi Djuanda. Berkata Mochtar:
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: "Setelah diselesaikan, konsep itu dibahas dalam rapat kabinet pada 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda di Pejambon (kini Gedung Kemlu). Agenda rapat sebetulnya membahas RUU yang dibuat panitia INTERDEP, panitia yang dibentuk pemerintah untuk mempersiapkan RUU tentang wilayah maritim. “Tetapi ada juga RUU tidak resmi dari Menteri Veteran, di mana saya menjadi penasihat sekaligus pembuat konsepnya. Sebetulnya bukan RUU tetapi deklarasi tentang konsepsi Negara Kepulauan Indonesia,” tulis Mochtar dalam buku kenang-kenangan mengenai Chairul Saleh.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Ketika akan memasuki ruang rapat, Mochtar dicegat Chairul yang langsung memberondong dengan beberapa pertanyaan.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Mochtar, ini yang mau diukur dari pangkal laut teritorial lebarnya berapa?”
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Dua belas mil,” jawab Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Kenapa tidak 17 ? Sebab 17 adalah angka keramat,” kata Chairul yang tak dihiraukan Mochtar. Mungkin dipikirnya, kenapa pula Uda Chairul yang anak Minang tulen ini tiba-tiba jadi senang klenik dan tahayul.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Konsepsi laut itu akhirnya diadopsi pemerintah. Hari itu juga PM Djuanda mendeklarasikan konsep yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda itu. Indonesia mulai saat itu menyatakan seluruh perairan yang mengelilingi atau menghubungkan pulau-pulaunya sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dan berada di bawah kedaulatan Indonesia alias perairan nasional. Seluruh kekayaan yang ada di dasar laut dan tanah di bawahnya milik Indonesia.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Munculnya Deklarasi betul-betul sebuah karya anak bangsa yang nasionalistis dan revolusioner, dan hebatnya lagi, justru melalui sarana produk hukum dan mengguncang dunia internasional. Tanpa satu pelurupun diletuskan.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Buktinya? Beberapa negara ada yang segera mengirim surat penentangan, di antaranya nota protes diplomatik itu berasal dari Amerika Serikat (30 Desember 1957), Ingris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Prancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958),” tulis Eko A. Meinarno, Adhityawarman Menaldi, dan Prayogo Triono dalam “Andai PM Djuanda Masih Hidup: Studi Persepsi Wilayah NKRI”, dimuat dalam Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Tentu saja meski Mochtar berperan besar namun di belakang layar sebagai konseptornya Chairul Saleh, tak urung sempat gusar juga dibuatnya. Mochar yang lagi kalang-kabut kontan menemui Uda Chairul seraya menunjukkan berita sebuah koran. Chairul justru merespon santai. “Ooo mereka protes? Kalau negara-negara besar imperialis itu protes, itu artinya kita di jalan yang benar.”
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Benar. Deklarasi Djuanda sebagai karya revolusioer di bidang hukum memang strategis. Deklarasi Djuanda menjadi landasan Indonesia memperjuangkan perairan nasionalnya baik di Konferensi Hukum Laut PBB pertama di Jenewa, Februari 1958, maupun forum-forum internasional setelahnya.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Pada waktu itu saya selalu dijadikan ketua Delegasi Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu,” tutur Mochtar mengenang kejadian itu.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Makanya kalau orang sekarang meributkan yang namanya UNCLOS, ngerti nggak sejarah pembuatannya? Nah ini sekelumit cerita mengenang jasa-jasa Pak Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: UU tentang Perairan Indonesia yang kemudian menjadi UU No.4/Prp juga dibuat berdasarkan Deklarasi Djuanda. Jauh setelah Chairul tiada, perjuangan Indonesia mendapatkan pengakuan internasional atas laut teritorialnya akhirnya membuahkan hasil dengan ditandatanganinya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) oleh 159 negara pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Uruguay.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Untungnya dan bagusnya ahlak dari manusia hebat macam Pak Mochtar ini, bukan orang seperti kacang lupa kulitnya. Beliau menyadari betul bahwa Uda Chairul adalah seorang mentor. Sehebat apapun pak Mochtar kelak, menjadi menteri kehakiman dan dua kali jadi menlu di era pemerintahan Suharto, Pak Mochtar menyadari bahwa sumber inspirasi dan penggagas Deklrasi Djuanda adalah Chairul Saleh.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: “Jadi saya merasa beruntung mendapatkan tantangan dan dorongan dari Uda Chairul, dari permulaan tidak adanya sampai tercipta dan berhasil diterimanya Wawasan Nusantara sekaligus diterimanya konsepsi baru ini di Konvensi Internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay itu,” kata Mochtar.
[12:25 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Luar biasa Pak Mochtar. Semoga Allah memberi tempat yang terbaik  dan termulia di SisinYa.
[12:55 PM, 6/7/2021]
Hendrajit: Satu saat memang perlu diskusi lebih dalam ihwal peran TNI dalam Perjuangan Bangsa. Menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa, TNI jelas nyata adanya. Tapi TNI berpolitik kita harus cermat dan hati2, karena ini isu yang kontroversial.

Kedua, kalaupun dipahami sebagai TNI yang berpolitik, mahzab siapa yang dipakai. Pak Dirman, Pak Nas atau Pak Harto.
[12:57 PM, 6/7/2021]
Adiaksa: Mantap ini...Sekilas sy pilih Mahzad Jend.Besar Soedirman ๐Ÿ™๐Ÿผ☕๐Ÿ˜€☕๐Ÿ™๐Ÿผ

Hendrajit: Mindset kita harus spt para bapak bangsa dulu

[10:16 PM, 6/6/2021]

Hendrajit: Terlepas dari kualitas intelijen kita saat ini,, ada akar soal yang lebih patologis. Bangsa kita gampang percaya mitos dan tahayul.

Akibatntnya, dalam menilai kenyataan saat ini, nggak mampu menangkat tanda2 zaman dan semangatnya, apalagi mengantisipasi apa yang akan terjadi pada masa depan.

Sebaliknya akibat mitos dan tahayul, kita nggak mampu mengerti rahasia munculnya peristiwa2 bersejarah dari masa lalu yang biasanya unik dan tak terduga, namun dampaknya menimbulkan efek berantai. Akibatnya, kita tidak belajar dan memetik pelajaran apapun daru dari kejadiandi masa lalu. 



Rabu, 02 Juni 2021

via @ammaksum: Pierre Suteki: Tepatkah Menggugat Penetapan 1 Juni Sebagai HARI LAHIR PANCASILA?


[1:09 PM, 6/1/2021] Agus Maksum: 


Tepatkah Menggugat Penetapan 1 Juni Sebagai HARI LAHIR PANCASILA? 

Pierre Suteki 


A. Pengantar 

Hingga sekarang ini ternyata polemik tentang Hari Lahir Pancasila masih muncul ke pergulatan politik di tengah pandemi covid-19. Pemerintah telah menetapkan hari lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1945 melalui Keppres No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Syahdan, terkait dengan hiruk pikuk RUU HIP, BPIP dan RUU BIP seolah warga dibangunkan untuk mengaitkannya dengan penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945. Sebagian masyarakat merasa bahwa Usulan RUU HIP---yang kemudian digugurkan---- dan RUU BPIP yang beraroma moderasi, deradikalisasi paham komunisme dan otoritatianisme tidak dapat pisahkan dari skenario penetapan harlah Pancasila tanggal 1 Juni 1945. Seolah ada upaya untuk terus mengenang, memuja dan bahkan menjadikan pidato Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarnoisme yang pada akhirnya dinilai oleh beberapa pihak lebih berbau atau cenderung "kekirian", khususnya jika dikaitkan dengan Nasakom pada tahun 1965. 

Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri munculnya kecurigaan rasional bahwa pengajuan RUU HIP dulu dan RUU BPIP sekarang merupakan bagian dari roadmap pengejawantahan ajaran Seokarnoisme tersebut. Apakah hal ini dibenarkan jika kita mengingat bahwa Pancasila sebagai Dasar Negara telah disepakati ada, lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 melalui pengesahan UUD NRI Tahun 1945? 


B. Pentahapan Kelahiran Pancasila Dasar Negara 

Secara penalaran, lahirnya suatu gagasan, ide, pemikiran yang terangkum dalam sebuah narasi way of life, ideologi dan juga dasar atau asas suatu negara sekalipun dapat dibagi menjadi 4 tahap: 

(1) Tahap Pembenihan, Pembibitan ide;

(2) Tahap Pembuahan ide;

(3) Tahap Perumusan ide; dan

(4) Tahap Kelahiran ide. 

Demikian pula Pancasila sebagai basis atau fondamen pemerintah negara Indonesia didirikan juga tidak terlepas dari pentahapan tersebut. Ir Soekarna tidak pernah mengklaim dirinya sebagai pencipta Pancasila, melainkan hanya sebagai salah satu penggali nila-nilai Pancasila yang telah ratusan tahun terpendam di bumi Nusantara Indonesia ini. 

Pada TAHAP PERTAMA, cikal bakal manusia Indonesia telah dikenal memiliki kearifan lokal yang memenuhi karakter nilai-nilai Pancasila. Misalnya keyakinan terhadap Tuhan. Teori Wahyu yang dikemukakan oleh Wilhelm Schmidth (etonolog dan ahli bahasa Austria) menyatakan bahwa bangsa-bangsa di nusantara meyakini adanya Tuhan dengan sebutan beraneka ragam, Alloh (Islam dan Nasrani), Sang Hyang Widhi Wase (Hindu), Gusti Pangeran (Jawa) dan lain-lainnya. Intinya penduduk yakin adanya sesuatu yang berada di luar kekuasaan alam dan manusia. 

Persepsi terhadap kemanusiaan dan hakikat manusia juga dimiliki oleh penduduk di Nusantara. Dalam Suluk Wujil (Jawa) manusia diyakini sebagai mahluk monodualisme. Disebutkan pertanyaan mendasar: Apa manungsa iku? Manungsa iku loro ning datan loro. Lir tinon lawan ragane (Apa manusia itu? Manusia itu dua menjadi satu, yakni jiwa dan raga yang tampak sekaligus),  bahkan monopluralisme yang kemuadian konsep ini dikembangkan oleh Prof. Notonagoro. Manusia bukan dimaknai sebagai substansi material seperti komunis dan kapitalis melainkan dimaknai lahir dan bathin, sehingga pemenuhannya tidak cukup aspek lahiriah melainkan juga bathiniah. 

Perihal persatuan, semangat bersatu kita temukan jejak bagaimana sejarah mengukir kesatuan bangsa, misalnya kesatuan penduduk dan wilayah serta keragama SARA dengan semboyan di Majapahit dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa ( Berbedalah, tetap menjadi satu kesatuan, tidak ada dharma kebaikan yang mendua). Permusyarawaratan untuk mufakat juga sudah terbiasa dilakukan oleh para raja dan penduduknya. Adat adat musyawarah rembug desa di Jawa, adat adat begundem di Lombok bahkan tercatata dalam sejarah dalam kitab Negara Kertagama bahwa pengangkatan Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit juga ditempuh dengan musyawarah. 

Mengenai kedilan sosial, atau pengutamaan kesejahteraan sosial, kita bisa menyimak pembibitan nilai ini sejak zaman Sriwijawa dengan Raja Syailendra ketika membuat prasasti Kedukan Bukit 683 M. Pada prasasti itu tertulis saloka yang berbunyi: Marwat Vanua Srivijaya Jaya Sidhdhaayatra Subhiksa (Mendirikan Negara Sriwijaya Yang Jaya Sejahtera Sentausa). Hal ini menunjukkan komitmen Kerajaan Sriwijaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk kerajaan. 

Pada TAHAP KEDUA, menjelang kemerdekaan RI ada upaya yang tegas dari orang-orang terpelajar di Indonesia untuk memperjuangkan dan membela nilai-nilai yang dapat mendorong segala upaya untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan kaum imperialis. Ada Perhimpunan Indonesia, ada Indische Partij, ada PNI, ada PKI dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi itu sengaja dibentuk untuk menyemai sekaligus mengawinkan nilai-nilai baru yang akan dipakai sebagai spirit perjuangan melawan penjajahan di bumi pertiwi Indonesia. 

Pada TAHAP KETIGA, nilai-nilai yang terpendam, disemaikan dan telah dicoba untuk dikawinkan, kemudian diusahakan untuk dikonkretkan dengan cara membuat rumusan agar lebih mendapatkan kepastian hukumnya. Terkait dengan Pancasila maka melalui  Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) para tokoh pendiri bangsa mencoba mengajukan dan merumuskan asas, dasar negara didirikan. Pada sidang BPUPK yang pertama (29 Mei sd 1 Juni 1945) ada beberapa tokoh yang mengajukan gagasan tersebut. 


(1) Mr Muhammad Yamin, mengajukan:

Dalam pidatonya:

1. Peri Kebangsaan

2. Peri Kemanusiaan

3. Peri Ketuhanan

4. Peri Kerakyatan

5. Kesejahteraqn rakyat. 


Usulan secara tertulis:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kebangsaan Persatuan Indonesia

3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.

5. Keadan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 

(2) Pada tanggal 31 Mei 1945, Mr Supomo juga mengajukan lima dasar negara yaitu;

1. Persatuan

2. Kekeluargaan

3. Keseimbangan lahir dan bathin

4. Musyawarah

5. Keadilan Rakyat, 


(3) Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Sukarno menyampaikan pidatonya. Dalam pidato itu, Ir

Sukarno juga mengajukan lima dasar negara didirikan yang kemudian diusulkan untuk diberi nama Pancasila (atas usulan ahli bahasa temannya, diperkirakan Mr Moh. Yamin). Lima dasar itu adalah:

1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme dan perikemanusiaan

3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahteraan sosial

5. Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Bahan-bahan berupa usulan para tokoh pada sidang BPUPK pertama ini perlu digodog lebih lanjut. Oleh karena itu dibentuklah Panitia kecil pada tanggal 1 Juni 1945. Ada 9 orang dan diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia itu kita kenal dengan nama Panitia 9. Hasil kerja Panitia 9 berupa Piagam Jakarta atau juga disebut Mukadimah atau juga disebut Gentlement Agreements. Di dalam Piagam Jakarta ini termaktub lima dasar negara didirikan, yaitu: 

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan.

5. Keadan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 

Sampai di sini, usulan lima dasar negara didirikan tidak lagi pendapat perseorangan melainkan sudah menjadi MODUS, setidaknya wakil-wakil pada Panitia 9. Tidak ada ajaran pribadi di sini sekalipun oleh Ir. Sukarno. Jadi, kalau ingin menetapkan hari lahir Pancasila sebagia modus vivendi lebih tepat tanggal 22 Juni 1945 dibandingkan 1 Juni 1945. 

Pada TAHAP KEEMPAT menjelang pengesahan UUD NRI 1945, atas 7 kata di belakang Ketuhanan pada sila pertama, tampaknya menimbulkan kegerahan bagi sebagian masyarakat Indonesia khususnya kalangan Non Muslim hingga menjelang sidang PPKI 7 kata itu dihapus dan pada saat pengesahan UUD 1945, 7 kata itu disepakati oleh PPKI untuk dihilangkan sehingga sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Sila lainnya tetap bunyi dan susunannya.  Hingga di sini kita dapat menyaksikan bahwa Pancasila yang disahkan bersamaan dengan pengesahan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 ini benar-benar telah menjadi MODUS VIVENDI (Kesepakatan Luhur Final). Ketika sudah ada modus vivendi inilah, sebuah ide, gagasan dasar negara telah memperoleh legitimasi dan legalitasnya. Maka, lebih tepat HARI LAHIR PANCASILA ditetapkan pada tanggal 18 AGUSTUS 1945. TAHAP KELAHIRAN sebuah ide, gagasan dari sebuah bangsa tentang dasar negara RI telah tiba. 


C. Politik Hukum Penerbitan Keppres Harlah Pancasila 

Ada pertanyaan penting yang perlu diajukan yaitu: "bagaimana legalitas dan legitimasi penetapan Harlah Pancasila tanggal 1 Juni sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 Tahun 2016?" Saya akan sedikit mengkritisi Keppres ini, khususunya dari sisi politik Hukumnya, sebagai berikut: 

(1) Tidak ada urgensi penerbitan Keppres 

Dari sisi politik hukum, urgensi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945 itu tidak ada karena hari kelahiran Pancasila sebenarnya sudah disepakati oleh bangsa Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 dan tidak perlu diperdebatkan. Para ahli tata negara, dosen-dosen HTN dan Pancasila sebenarnya sudah sepakat secara legal konstitusional Pancasila lahir bersama pengesahan UUD 1945, yakni 18 Agustus 1945. Patut diduga sebenarnya tidak ada polemik, yang mungkin ada hanyalah kepentingan politik tertentu. 

(2) Tidak ada cantolan hukumnya. 

Di sisi lain, Keppres No. 24 Tahun 2016 adalah Keppres yang sangat minim memperoleh dasar hukum berupa "cantolan hukum" pembentukan sebuag Keppres. Keppres ini hanya didasarkan pada Pasal 4 ayat 1 UUD NRI 1945 yakni tentang kewenangan Presiden untuk menjalankan pemerintahan menurut UU. Tidak ada satu pun UU, PP atau Perpres sekalipun yang menjadi dasar pembentukan Keppres ini. 

(3) Tidak tepat status pengaturannya melalui Keppres. 

Sebagaimana diketahui bahwa Keppres itu dari sisi HTN dan HAN adalah sebuah produk hukum yang bersifat konkret, individual dan selesai. Lalu bagaimana bisa Hari Lahir Pancasila itu ditetapkan dengan Keppres yang punya sifat khusus dan tidak berlaku umum untuk seluruh rakyat? Saya diangkat menjadi Guru Besar itu dengan Keppres, bukan dengan PP atau Peraturan Presiden (Perpres) yang sifatnya abstrak dan umum. Menyangkut soal dasar negara, ideologi negara saya kira harlahnya tidak tepat dituangkan dalam bentuk Keppres yang pertimbanangan hukumnya lebih individual dan subjektif. Oleh karena menyangkut soal negara maka pertimbangannya tidak boleh sepihak melainkan harus melibatkan para wakil rakyat yang duduk di DPR dan MPR, sekaligus melibatkan PARTISIPASI RAKYAT sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tetang PPP. Oleh karena itu penetapan harlah Pancasila lebih tepat dengan UU atau jika mungkin dengan Ketetapan MPR. Mengapa harus dengan UU atau Ketetapan MPR? Hal ini dilakukan agar tidak mudah diubah sesuai dengan kemauan rezim yang berkuasa secara sepihak. 


D. Implikasi Penetapan Harlah Pancasila 1 Juni 1945 

Implikasi penetapan 1 Juni 1945 sebagai hari lahir (harlah) Pancasila. 

(1) Adanya upaya untuk terus mengembangkan pidato 1 Juni 1945 sebagai Ajaran Soekarno atau Soekarnoisme oleh partai politik tertentu dan bahkan menjadikannya sebagai Visi partai tersebut plus upaya pemerasan Pancasila  menjadi Trisila dan Ekasila. 

(2) Pergeseran urat tunggang Pancasila dari Ketuhanan Yang Maha Esa (religiusitas) menjadi Gotong Royong (tidak dijamin religiusitasnya). Hal ini tercemin dalam RUU HIP dan Visi sebuah partai pengusungnya. 

(3) Terkesan ada upaya melakukan moderasi atau deradikalisasi terhadap paham komunisme, Marxisme-leninisme melalui RUU HIP yang diusung oleh partai yang bervisi Pancasila 1 Juni 1945. Kecurigaan ini tidak berlebihan ketika kita menyaksikan keterangan dari anggota parlemen yang menyatakan bahwa mantan dan para anak cucu PKI berlindung pada partai tersebut. Jumlahnya pun tidak sedikit, mencapai 15 juta hingga 20 juta orang. 

(4) Melalui penetapan harlah 1 Juni 1945, kita juga menangkap kesan bahwa Pancasila lebih dikembangkan sebagai IDEOLOGI NEGARA dibandingkan dengan Pancasila sebagai DASAR NEGARA. Sementara itu, Pancasila di Pembukaan UUD 1945 itu harus dimaknai sebagai dasar negara yang wajib diamalkan oleh para penyelenggara pemerintah negara ( legislatif, yudikatif dan eksekutif) bukan oleh warga negara. Ketika Pancasila ditekankan pada ideologi negara, maka akan mudah dilahirkan TAFSIR TUNGGAL Pancasila yang berpotensi menjadi ALAT GEBUK rezim terhadap pihak lain yang berseberangan dengan rezim penguasa. Hal ini sudah tercermin dalam RUU HIP---yang sudah kandas----maupun RUU BPIP. 

Berdasarkan argumentasi tersebut di muka baik dari sisi politik hukumnya maupun implikasi penetapan harlah Pancasila 1 Juni 1945, maka Keppres No. 24 Tahun 2016 kiranya patut untuk digugat serta kembali pada Pancasila sebagaI MODUS VIVENDI yang lahir pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan pengesahan UUD NRI 1945. Upaya untuk membangkitkan ajaran yang tidak sesuai bahkan terkesan hendak mengganti Pancasila Dasar Negara 18 Agustus 1945 harus dimaknai sebagai perbuatan MAKAR IDEOLOGI/DASAR NEGARA sebagaimana telah diatur dalam UU No. 27 Tahun 1999 jo Pasal 107 huruf a, b, c, d, e, dan f KUHP yang diancam hukuman penjara paling lama 12 hingga 20 tahun. Jika hal itu dilakukan oleh sebuah partai politik, maka sesuai dengan UU Parpol, parpol tersebut dapat diusulkan oleh Presiden untuk dibubarkan melalui mekanisme pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi  (MK). 


E. Penutup 

Mungkin bagi kalangan tertentu hari lahir sebuah ide, gagasan, ideologi atau apa pun namanya itu tidak penting. Namun, ketika hari lahir gagasan atau ideologi itu dimaknai bukan sekedar istilah (wadah) melainkan persoalan konten dari sebuah ide dasar, maka hal ini merupakan persoalan yang serius karena para inisiatornya telah menyalahi konsensus nasional yang telah ada bahkan menjadi modus vivendi. Jadi, nama atau wadah itu penting, isi juga penting dan artinya keduanya ternyata tidak dapat dipisahkan. Jadi,  Hari lahir Pancasila dan Isi serta makna di dalamnya tidak dapat dipisahlepaskan. Harlah Pancasila sebagai Modus Vivendi adalah 18 Agustus 1945 bukan 1 Juni 1945.  Bukankah begitu penalaran yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan? 


Tabik...!!!

Semarang, Senin: 31 Mei 2020


Minggu, 23 Mei 2021

Jusuf Mahdi: Membedah Kesejatian Islam Di Nusantara


[11:39 AM, 5/23/2021] 

Ir Jusuf Mahdi, MM: ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐ŸŒน MEMBEDAH KESEJATIAN ISLAM DI NUSANTARA ❤️๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

Ir. Jusuf Mahdi, MM.

Saat ini Islam telah dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia sekitar 80 % dari 260 juta jiwa, sehingga merupakan yang terbesar di dunia.

Hal tersebut terjadi dari masuknya agama Islam melalui utusan nabi, para wali songo yang secara santun, tanpa kekerasan, memberikan suri tauladan, arif dan bijak, persuasif, penuh toleransi  merangkum budaya dan kepribadian bangsa menjadi sebuah tatanan kehidupan islami yang mengakar kuat di masyarakat Nusantara.

Hanya di Indonesia selama ratusan tahun semua agama hidup berdampingan secara damai, tidak pernah ada konflik yang menyebabkan korban, dan Islam sangat concern menerapkan inti dan esensi nilai ke-bhinneka tunggal Ika-an dalam berkegiatan, sehingga marwah Pancasila dan implementasinya dikagumi dunia.

Maka kesejatian dan sejatinya  Islam Nusantara adalah tata laku islami yang berakhlakqul kariimah, damai, menyejukkan, teguh  pada amar makruf nahi mungkar,  melakukan kebajikan, kebaikan dan kebenaran, menerapkan lakum dinukum wali yadiin


Saat ini upaya untuk memecah belah, mengadu domba umat Islam dengan gencar dilakukan oleh musuh-musuh Islam dalam upaya menghancurkan Islam dan umat Islam Indonesia.

Dengan licik dan dengan segala cara, melalui media, tulisan, medsos dll para buzzer memframing Islam dan umat Islam Indonesia untuk saling curiga, saling menjatuhkan sehingga persatuan dan kesatuan umat runtuh dan hancur sehingga dengan mudah mereka dapat menguasai Indonesia dan merubah dasar negara  Berketuhanan yang Maha Esa dengan dasar liberal, komunis dsb.

Saat ini sedang berlangsung perang ekomomi dan penguasaan sumber daya alam, baik untuk mewujudkan kapitalis-liberalis global ataupun komunisme global, dimana  Indonesia karena kekayaan sumber daya alamnya menjadi sasaran utama.

Sasaran utama mereka adalah menghancurkan NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi umat Islam terbesar di Indonesia melalui fitnah, adu domba dlsb. 

Waspadalah dan cermat  serta cerdaslah  menyikapi perkembangan keadaan dan mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi bangsa dan  negara dalam rakhmat dan barokah Nya.  Aamiin ya rabbal alaamiin.

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐ŸŒน❤️๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ❤️

jm, vssmatc,sby,23052021


[3:53 PM, 5/23/2021] Ir Jusuf Mahdi, MM: Islam sejati di Nusantara tidak keluar dari Al Qur'an, sunnah dan ajaran Nabi Muhammad Saw, meneladani isi piagam Madinah sebagai pedoman berpemerintahan, bergotong royong mengatasi kehidupan dan masalah, menjunjung kemanusiaan, keadilan dan keberadaban di semua tataran kehidupan. Dan bagi bangsa Indonesia karunia  Allah tersebut adalah Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila yang diturunkan melalui para sesepuh dan founding father yang mengerucut pada Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.

[3:58 PM, 5/23/2021] Ir Jusuf Mahdi, MM: Tipu daya penjajah adalah membuat kelas dan batasan golongan masyarakat dalam berkehidupan, menyekat hubungan komunikasi antar bagian masyarakat dsb sehingga pemimpin jauh dari rakyatnya



101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan

101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan https://t.co/uiGUXUaTOg pic.twitter.com/qxFePwV8ZQ — KoranDNM (@Koran_DNM) June 27, 2021 ...