Kamis, 29 Juli 2021

via dr Zamir Alvi: dr Iqbal Mochtar: MIRIS DI TENGAH ERA POST-TRUTH

[11:52 AM, 7/27/2021]
Zamir Alvi: MIRIS DITENGAH ERA POST-TRUTH

Iqbal Mochtar

Enggak gampang hidup di era ini. Era post-truth. Era dimana banyak orang percaya sesuatu yang tampak benar, padahal enggak benar sama sekali. Kasarnya, kebohongan menyamar menjadi kebenaran.

James Ball lebih tajam lagi; menurutnya, post-truth adalah era dimana omong kosong (bullshit) menaklukkan dunia. Mekanismenya kompleks.

Oxford dictionary menjelaskan fenomena ini lebih detail. Post-truth adalah fenomena dimana fakta obyektif dikalahkan oleh perasaan pribadi, feeling atau emosi. Saat dimana bukti-bukti ilmiah tidak dipedulikan dan orang lebih mendengar bukti anekdot, testimoni tidak jelas dan bahkan campuran perasaan dan kira-kira. Penggalan-penggalan cerita tanpa bukti di twitter, facebook dan instagram lebih dipercaya dan dijadikan rujukan daripada pendapat profesional atau hasil penelitian di jurnal.  

Bagaimana kebohongan menaklukkan dunia?

Satu, google minded. Dengan tersedianya google, orang tiba-tiba merasa menjadi pintar dalam segala hal. Dengan mengutak-atik beberapa halaman google, mereka merasa telah menjadi ahli dan mampu bicara apa saja. Semua bidang diterabas; mulai kesehatan, agama, sosial, politik dan budaya. Dengan bermodal bacaan google beberapa hari, mereka menantang profesional yang dididik puluhan tahun dibidangnya. Orang model ini menganggap google sebagai ‘kitab suci’; sumber segala sumber kebenaran. Dengan modal ini, mereka terus menggaungkan pikirannya, sekalipun pikiran itu bertentangan dengan dogma keilmuan spesifik.  

Kedua, filter buble. Masyarakat gandrung untuk percaya apa yang enak menurut mereka. Comfort zone. Disini personal feeling bermain. Masyarakat suka sesuatu yang praktis, taktis, mudah dilakukan dan tidak mengusik ruang hidup mereka. Kasarnya, mereka berada dalam feeling bubble. Maka jangan heran, masyarakat lebih senang percaya manfaat bawang putih atau minyak kayu putih daripada manfaat vaksin. Karena bawang putih familiar, murah dan mudah didapat bagi mereka. Mereka juga lebih senang mendengar bahwa Covid-19 adalah penyakit flu biasa dan tidak berbahaya. Karena ini membuat mereka tenang. Berita bahwa Covid berbahaya mengusik ketenangan psikologis mereka. Mereka senang berada dalam comfort zone feeling mereka. Mereka tidak senang mendengar berita tentang vaksin. Karena itu terkait dengan intervensi terhadap tubuh mereka, merupakan bahan obat dan ada biayanya. Itu tidak nyaman dan tidak tepat bagi mereka. Makin menjamurlah paham anti Covid-19 dan anti-vaksin.

Ketiga, repeated false information. Jangan kira penganut pikiran keliru akan berhenti menyebarkan pikirannya. Mereka terus merilis dan merelay pikirannya berulang dan terus menerus. Disini terjalin kolaborasi propaganda, kampanye, media dan teknologi yang secara serempak mengumbar paham tidak benar agar tampak menjadi benar. Di media sosial, berbagai info yang sudah usang dan terbukti hoax terus bermunculan. Diulang-ulang. Pikiran masyarakat terus diobok-obok dan didera oleh informasi palsu yang berulang. Konten berulang ini terus menari dipikiran orang dan dapat merubah mindset. Leon Festinger bilang, pengulangan konten menyebabkan orang bertanya dalam lubuk hati. Lama kelamanaan timbullah persetujuan dan komitmen. Selanjutnya mereka ambyar dalam konten.

Empat, high level language. Para profesional cenderung berbahasa tinggi dan melangit saat menjelaskan berbagai fenomena ke masyarakat. Menggunakan teori ini dan itu; menggunakan jurnal ini dan itu. Padahal masyarakat tidak pandai dan tidak nyaman bermain pada struktur level demikian. Masyarakat belum paham dan tidak familiar dengan struktur berpikir jelimet. Mereka butuh penjelasan dan bukti simpel, dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami mereka. Memang antara masyarakat dan profesional terdapat disparitas konsep berpikir yang derajatnya bervariasi; ada yang jomplangnya sedikit dan ada yang banyak. Makin spesifik suatu bidang, jomplangnya makin besar. Misalnya, kalau bicara tentang sepeda, motor atau mobil, pengetahuan masyarakat dengan montir mungkin tidak jauh beda. Tapi bicara tentang jantung atau paru, tingkat pemahanam masyarakat dan profesional sangat jomplang. Kejomplangan ini harusnya bisa dijembatani dengan bahasa simpel dan sederhana. Yang mudah dipahami dan diangguki masyarakat.

Lima, conflict of interest. Ada memang sekelompok orang yang senang dan menghendaki information chaos. Karena mereka memiliki interest dan kepentingan; politik, bisnis, atau memiliki anomali psikologis seperti post-power syndrome. Ada yang ingin terkenal, ingin memperoleh jabatan, ingin barangnya laku. Mulai dari perorangan hingga organisasi. Media pun punya interest; mereka senang hal kontroversi karena itu menyangkut rating tayangan. Maka jangan heran, orang-orang atau pikiran kontroversial justru diberi panggung. Dengan alasan kebebasan berpikir. Padahal intinya adalah peningkatan rating dengan mengangkat sisi kontroversial sebuah issu.

Memang berat hidup di era post-truth. Karena kita mengalami fenomena paradoksal. Kalau anda ingin mengajak orang untuk mempercayai anda, jangan berikan mereka bukti dan fakta. Tapi berikan mereka diskursus atau konsep yang mudah diterima oleh mereka, yang mengenakkan perasaan dan kepercayaan mereka, yang tidak mengganggu comfort zone mereka, walaupun hal itu tanpa bukti dan bukan fakta. Ujung-ujungnya, kita masuk kedalam ranah bulshit everywehere (kebohongan dimana-mana). Bukankah ini mengerikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan

101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan https://t.co/uiGUXUaTOg pic.twitter.com/qxFePwV8ZQ — KoranDNM (@Koran_DNM) June 27, 2021 ...