[11:52 AM, 7/27/2021]
Zamir Alvi: MIRIS DITENGAH ERA POST-TRUTH
Iqbal Mochtar
Enggak gampang hidup di era ini. Era post-truth. Era dimana banyak
orang percaya sesuatu yang tampak benar, padahal enggak benar sama
sekali. Kasarnya, kebohongan menyamar menjadi kebenaran.
James Ball lebih tajam lagi; menurutnya, post-truth adalah era dimana
omong kosong (bullshit) menaklukkan dunia. Mekanismenya kompleks.
Oxford dictionary menjelaskan fenomena ini lebih detail. Post-truth
adalah fenomena dimana fakta obyektif dikalahkan oleh perasaan pribadi,
feeling atau emosi. Saat dimana bukti-bukti ilmiah tidak dipedulikan
dan orang lebih mendengar bukti anekdot, testimoni tidak jelas dan
bahkan campuran perasaan dan kira-kira. Penggalan-penggalan cerita
tanpa bukti di twitter, facebook dan instagram lebih dipercaya dan
dijadikan rujukan daripada pendapat profesional atau hasil penelitian
di jurnal.
Bagaimana kebohongan menaklukkan dunia?
Satu, google minded. Dengan tersedianya google, orang tiba-tiba merasa
menjadi pintar dalam segala hal. Dengan mengutak-atik beberapa halaman
google, mereka merasa telah menjadi ahli dan mampu bicara apa saja.
Semua bidang diterabas; mulai kesehatan, agama, sosial, politik dan
budaya. Dengan bermodal bacaan google beberapa hari, mereka menantang
profesional yang dididik puluhan tahun dibidangnya. Orang model ini
menganggap google sebagai ‘kitab suci’; sumber segala sumber kebenaran.
Dengan modal ini, mereka terus menggaungkan pikirannya, sekalipun
pikiran itu bertentangan dengan dogma keilmuan spesifik.
Kedua, filter buble. Masyarakat gandrung untuk percaya apa yang enak
menurut mereka. Comfort zone. Disini personal feeling bermain.
Masyarakat suka sesuatu yang praktis, taktis, mudah dilakukan dan tidak
mengusik ruang hidup mereka. Kasarnya, mereka berada dalam feeling
bubble. Maka jangan heran, masyarakat lebih senang percaya manfaat
bawang putih atau minyak kayu putih daripada manfaat vaksin. Karena
bawang putih familiar, murah dan mudah didapat bagi mereka. Mereka juga
lebih senang mendengar bahwa Covid-19 adalah penyakit flu biasa dan
tidak berbahaya. Karena ini membuat mereka tenang. Berita bahwa Covid
berbahaya mengusik ketenangan psikologis mereka. Mereka senang berada
dalam comfort zone feeling mereka. Mereka tidak senang mendengar berita
tentang vaksin. Karena itu terkait dengan intervensi terhadap tubuh
mereka, merupakan bahan obat dan ada biayanya. Itu tidak nyaman dan
tidak tepat bagi mereka. Makin menjamurlah paham anti Covid-19 dan
anti-vaksin.
Ketiga, repeated false information. Jangan kira penganut pikiran keliru
akan berhenti menyebarkan pikirannya. Mereka terus merilis dan merelay
pikirannya berulang dan terus menerus. Disini terjalin kolaborasi
propaganda, kampanye, media dan teknologi yang secara serempak
mengumbar paham tidak benar agar tampak menjadi benar. Di media sosial,
berbagai info yang sudah usang dan terbukti hoax terus bermunculan.
Diulang-ulang. Pikiran masyarakat terus diobok-obok dan didera oleh
informasi palsu yang berulang. Konten berulang ini terus menari
dipikiran orang dan dapat merubah mindset. Leon Festinger bilang,
pengulangan konten menyebabkan orang bertanya dalam lubuk hati. Lama
kelamanaan timbullah persetujuan dan komitmen. Selanjutnya mereka
ambyar dalam konten.
Empat, high level language. Para profesional cenderung berbahasa tinggi
dan melangit saat menjelaskan berbagai fenomena ke masyarakat.
Menggunakan teori ini dan itu; menggunakan jurnal ini dan itu. Padahal
masyarakat tidak pandai dan tidak nyaman bermain pada struktur level
demikian. Masyarakat belum paham dan tidak familiar dengan struktur
berpikir jelimet. Mereka butuh penjelasan dan bukti simpel, dengan
bahasa sederhana yang bisa dipahami mereka. Memang antara masyarakat
dan profesional terdapat disparitas konsep berpikir yang derajatnya
bervariasi; ada yang jomplangnya sedikit dan ada yang banyak. Makin
spesifik suatu bidang, jomplangnya makin besar. Misalnya, kalau bicara
tentang sepeda, motor atau mobil, pengetahuan masyarakat dengan montir
mungkin tidak jauh beda. Tapi bicara tentang jantung atau paru, tingkat
pemahanam masyarakat dan profesional sangat jomplang. Kejomplangan ini
harusnya bisa dijembatani dengan bahasa simpel dan sederhana. Yang
mudah dipahami dan diangguki masyarakat.
Lima, conflict of interest. Ada memang sekelompok orang yang senang dan
menghendaki information chaos. Karena mereka memiliki interest dan
kepentingan; politik, bisnis, atau memiliki anomali psikologis seperti
post-power syndrome. Ada yang ingin terkenal, ingin memperoleh jabatan,
ingin barangnya laku. Mulai dari perorangan hingga organisasi. Media
pun punya interest; mereka senang hal kontroversi karena itu menyangkut
rating tayangan. Maka jangan heran, orang-orang atau pikiran
kontroversial justru diberi panggung. Dengan alasan kebebasan berpikir.
Padahal intinya adalah peningkatan rating dengan mengangkat sisi
kontroversial sebuah issu.
Memang berat hidup di era post-truth. Karena kita mengalami fenomena
paradoksal. Kalau anda ingin mengajak orang untuk mempercayai anda,
jangan berikan mereka bukti dan fakta. Tapi berikan mereka diskursus
atau konsep yang mudah diterima oleh mereka, yang mengenakkan perasaan
dan kepercayaan mereka, yang tidak mengganggu comfort zone mereka,
walaupun hal itu tanpa bukti dan bukan fakta. Ujung-ujungnya, kita
masuk kedalam ranah bulshit everywehere (kebohongan dimana-mana).
Bukankah ini mengerikan?
#JASMERAH Ingat & waspada amanat & komitmen Bapak Bangsa: Sumpah Pemuda, Pancasila, Proklamasi, Preambule, UUD45 asli. Merdeka, Bersatu, Berdaulat, Adil & Makmur. Terangkat harkat & martabat rakyat & bangsa Indonesia sejajar bangsa2 lain. Pancasila Mercu Suar Dunia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan
101 Tahun ITB dan Tokoh Tionghoa yang Terlupakan https://t.co/uiGUXUaTOg pic.twitter.com/qxFePwV8ZQ — KoranDNM (@Koran_DNM) June 27, 2021 ...
-
Jika mengacu UU tersebut, maka: 1. Pem abai dlm mncegah masuknya pnyakit (psl 1-1) 2. Pem mmilih opsi PSBB utk mncegah faktor rsiko pnybar...
-
[1:09 PM, 6/1/2021] Agus Maksum: Tepatkah Menggugat Penetapan 1 Juni Sebagai HARI LAHIR PANCASILA? Pierre Suteki A. Pengantar Hingga sek...
-
UUD45 Asli: Pasal 29 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Terima kasih 🙏🏼 https://t.co/mpGU4jSRt4 — #InnerJourney (@Anand...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar